Betapa uring-uringannya otoritas keuangan di dunia sebab kemunculan siluman yang bernama cryptocurrency. Mata uang virtual ini pada dasarnya tidak membutuhkan otoritas moneter, ia menggunakan kontrol terdesentralisasi, sebagai oposisi dari uang produk perbankan yang tersentralisasi.
Cryptocurrency sebagai aset digital dirancang untuk bekerja laksana media pertukaran yang menggunakan kriptografi guna mengamankan transaksinya, untuk mengendalikan pembuatan unit tambahan, dan untuk memverifikasi pengalihan aset.
Begitu banyak cryptocurrencybermunculan di dunia virtual. CoinGecko -sebuah situs web yang me-rangkingurutan cryptocurrency berdasarkan aktivitas pengembang, pengguna, dan likuiditasnya- me-review saat ini ada 1098 macam cryptocurrency.
Bitcoin (BTC), sebagai salah satu cryptocurrency yang memiliki kapitalisasi terbesar, mengalami lonjakan nilai yang spektakuler. Per 23 Desember 2017, 1 BTC bernilai 234.101.000 rupiah.
Dua bulan sebelumnya, 1 BTC masih dihargai 79 Juta rupiah. Itu pun setelah mengalami kenaikan sebesar 486% sejak awal tahun 2017.
Sedangkan per 6 Februari 2018, Bitcoin terjun melampaui separuh jurang. Saat ini 1 BTC dihargai 96.011.000 Rupiah.
Valuasi Bitcoin dilakukan dengan membeli BTC, gambling, maupun mining(menambang). Yang terakhir ini cukup sulit dilakukan, karena perlu pengetahuan IT yang cukup dan perangkat yang canggih.
Saya pribadi pernah mencoba memvaluasi Bitcoin dengan gambling, pada sebuah situs komunitas duel Bitcoin dan ethereum terbesar di dunia. Tapi, ya namanya gambling, tidak ada metode yang dapat menjamin menang atau kalah. Ia berjalan secara serampangan, random.
Banyak juga yang berasumsi, jangan-jangan cryptocurrency bakal merevolusi standar nilai tukar untuk yang ketiga kalinya, setelah USD dan emas. Namun pandangan pesimis atas hal itu juga tak sedikit.
Randal Quarles, wakil ketua pengawasan Federal Reserve mengatakan, volume cryptocurrency yang tersembunyi dapat menjadi “masalah” dalam hal kebijakan moneter. Sedang Vitor Constancio, wakil presiden Bank Sentral Eropa menilai, cryptocurrency bukan mata uang, tapi sebuah “tulip” -sebagaimana merebaknya Tulip Mania pada zaman keemasan abad ke-17 di Belanda. Bagi yang mempelajari sejarah bubble dan crash ekonomi tentu mengerti bagaimana gambaran Vitor Constancio ini.
Otoritas keuangan lainnya di dunia seperti Bank of Japan (Jepang), Bundesbank (Jerman), Bank of France (Perancis), India’s Central Bank (India), Monethary Authority of Singapore (Singapura), Bank of Korea’s (Korea Selatan), Russia’s Central Bank (Rusia), Australia’s Central Bank (Rusia), dan Autorite Marocaine Du Marche Des Capitaux (Maroko) sama dengan Federal Reserve dan Bank Sentral Eropa, lebih cenderung negatif melihat fenomena cryptocurrency.
Maroko dan India dengan tegas menyatakan transaksi yang melibatkan cryptocurrency adalah melanggar hukum. Sedang Singapura memberikan peringatan resmi atas risiko cryptocurrency pada masyarakat.
Di sisi lain, People’s Bank of China (Tiongkok), Bank of England (Inggris), Banco Central do Brasil (Brazil), Bank of Canada (Kanada), Turkish Central Bank (Kanada), De Nederlandsche Bank (Belanda) adalah kelompok negara yang cenderung positif melihat fenomena cryptocurrency.
Inggris melalui Gubernur Bank of England, Mark Carney, menyebut cryptocurrencysebagai potensi revolusi. Teknologi berbasis blockchain, dengan database akuntansi terdistribusi, menunjukkan “janji besar” dalam memungkinkan bank sentral memperkuat pertahanan mereka melawan serangan cyber dan merombak cara pembayaran antara institusi dan konsumen.
Sedangkan Belanda, menjadi salah satu negara yang paling berani ketika harus bereksperimen dengan mata uang digital. Dua tahun lalu De Nederlandsche Bank menciptakan uang kripto-nya sendiri, yang disebut DNBcoin.
Skandinavia (Nordic Authorities, Sweden’s Riksbank, Norway’s Norges Bank), Selandia Baru (The Reserve Bank of New Zealand’s), dan Swiss (Bank for International Settlements) lebih netral melihat fenomena ini. Bagi mereka cryptocurrency adalah opsi, sama dengan mata uang yang dibuat sebelumnya, juga memiliki nilai positif dan negatif. Tinggal bagaimana menyikapi.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Di Hong Kong, 1 November 2017, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani dalam sebuah seminar menyampaikan, beberapa risiko cryptocurrency. Namun dibutuhkan kajian lebih lanjut untuk mengubahnya jadi oportunitas. Intinya, ini adalah tantangan bagi otoritas moneter untuk mengakomodasi fenomena perkembangan teknologi demi perbaikan ekonomi.
Di Indonesia saat ini cryptocurrencysudah menjadi aset digital yang dapat dipertukarkan dengan uang, tapi belum sebagai alat transaksi langsung. Sebab secara hukum, Undang-undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di wilayah negara kesatuan republik Indonesia wajib menggunakan rupiah.
Bank Indonesia (BI) melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran dan penyelenggara teknologi finansial di Indonesia -baik bank dan lembaga selain bank- untuk memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency.
Hal tersebut diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/ PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Virtual currency adalah istilah yang dipakai BI. Menurut saya, lebih konkret memakai term cryptocurrency.
Sebagai aset digital, Bitcoin mestinya diawasi oleh otoritas keuangan. Supaya dapat dilacak siapa saja yang menggunakan, membeli dan menjual, dari mana dan kemana alirannya.
Sebab kalau tidak, Bitcoin bisa menjadi media baru untuk pencucian uang. Jika cryptocurrency sudah menjadi media baru untuk pencucian uang, pekerjaan Komisi Pemberantasan Korupsi akan jauh lebih sulit.
Permintaan Bitcoin relatif akan terus naik sampai pada tahap semua jumlah BTC -sebanyak 21 juta- beredar di masyarakat. Per 15 Desember telah beredar sebanyak 16.700.000 BTC, jadi tersisa 4.300.000 BTC lagi.
Namun dinamika permintaan BTC tidak selalu menarik garis diagonal ke kanan atas. adakalanya ia membentuk garis diagonal ke kanan bawah.
Pergeseran-pergeseran nilai juga dipengaruhi kebijakan suatu negara. Saat Tiongkok mem-banned Bitcoin pada tempo sebelumnya, nilai BTC sempat turun. Namun sekarang kebijakan Tiongkok sudah berbalik arah.
Memang tidak ada yang pasti, dan pergerakan nilai cryptocurrency lebih sulit diukur. Ia dilahirkan oleh rahim anonymous. Bagi yang ingin menjadikan Bitcoin sebagai investasi, berpikirlah matang-matang.
Sumber: Bitcoin sebagai salah satu cryptocurrency yang memiliki kapitalisasi terbesar, mengalami lonjakan nilai yang spektakuler