-8 C
New York
Sunday, December 22, 2024

Buy now

spot_img

Ingin “New Normal” Berhasil ? Belajarlah dari Sejarah, Bukan Mengulang Sejarah

KEBIASAAN baru yang kita lakukan di saat pandemi Covid-19 ini, di antaranya bermasker, menjaga jarak, cuci tangan, banyak tinggal di rumah dll, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Kebiasaan itu sudah dilakukan orang-orang saat pandemi Flu Spanyol tahun 1918-1919 silam. Lalu apa yang new (baru) dengan kebiasaan tersebut?

Kamus Oxford menerangkan bahwa “The new normal adalah “a previously unfamiliar or atypical situation that has become standard, usual, or expected.” Artinya sebuah situasi yang sebelumnya tidak dikenal atau tidak biasa, lalu (kini) telah menjadi standard, menjadi biasa, atau bahkan menjadi yang diharapkan.

Mungkin orang yang paling bisa menjawab apa yang terjadi dengan “new normal” adalah  Angelina Friedman, wanita 101 tahun yang mampu lolos dari wabah flu Spanyol 1918, dan kini masih hidup serta merasakan pandemi Covid-19.

Atau mungkin perlu bertanya pada Rich Miller dan Matthew Benjamin yang menulis artikel “Post-Subprime Economy Means Subpar Growth as New Normal in U.S.” yang ditayang Bloomberg pada 18 Mei 2008 silam. Dalam artikel itu pertama kalinya ditulis jargon “new normal” tapi istilah tersebut mengacu pada pembuat kebijakan dunia bahwa ekonomi industri akan kembali ke “cara terbaru” setelah dihantam krisis keuangan pada 2007-2008. Bukan bicara soal pandemi penyakit.

Lalu seperti apa konsep ”New Normal” yang akan kita masuki dan kapan itu waktunya? Pemerintah sendiri masih akan mengeluarkan sebuah perhitungan/rumus yang akan menjadi patokan daerah-daerah mana saja yang bisa menerapkan new normal life. Rumus itu terkait dengan tingkat persebaran virus. Sebab tanpa parameter yang jelas, kita ibarat bereksperimen dengan mempertaruhkan ribuan, bahkan jutaan nyawa manusia.

Menarik tulisan Yuval Noah Harari. Sejarawan Israel yang menjabat sebagai profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem yang mencetak best seller lewat buku Sapiens: A Brief History of Humankind (2014) dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015) ini,dalam financial Times mengulas tentang apa yang akan terjadi setelah pandemi. Dia tidak menyebut-nyebut normal life, namun inti kupasannya adalah prediksi tentang era “normal life’’ yang saat ini banyak didengungkan.

Harari dalam tulisannya mencoba menjawab sebuah pertanyaan “dunia seperti apa yang akan kita huni begitu badai berlalu?”. Dia meyakini badai (pandemi corona ini) akan berlalu. Umat manusia akan selamat. Meski banyak yang meninggal, namun sebagian besar dari kita masih hidup. Tapi bagi yang ‘survive’ melewati badai akan memasuki dan mendiami dunia yang berbeda. Dia menyebut istilah “darurat” akan menjadi sebuah kata kunci di era baru yg berbeda nanti.

Harari memprediksi akan banyak tindakan darurat jangka pendek yang akan menghiasi tatanan kehidupan umat manusia nanti. Itulah sifat darurat. Salah satunya adalah proses sejarah dipercepat.

“Keputusan-keputusan yang pada masa-masa normal bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk disahkan, nantinya disahkan dalam hitungan jam. Teknologi yang tidak matang dan bahkan berbahaya, tombolnya ditekan untuk digunakan, karena risiko tidak melakukan apa pun lebih besar,” katanya.

Yang mencengangkan, dia mengistilkahkan Negara-negara di dunia, akan berfungsi sebagai “kelinci percobaan” dalam ‘eksperimen’ sosial berskala besar.

“Apa yang terjadi ketika semua orang bekerja dari rumah dan berkomunikasi hanya dari kejauhan? Apa yang terjadi ketika seluruh sekolah dan universitas online? Pada masa normal, pemerintah, bisnis dan dewan pendidikan tidak akan pernah setuju untuk melakukan eksperimen semacam itu !, katanya. “Tapi ini bukan waktu yang normal,” tegas Harari mengingatkan.

Intinya Noah Harari mengatakan, pandemi Covid-19 akan berkonsekuensi besar—tidak hanya di bidang kesehatan—tetapi juga ekonomi, politik, hingga seni. Dan semua itu bergantung pada pilihan yang diambil nantinya ketika memasuki era yang ramai disebut “new normal”.

Kebijakan yang salah diambil, akan membuat manusia mengulang sejarah yang kelam (pandemi Spanyol 1918-1919). Memaksakan diri memasuki “new Normal” akan menciptakan malapetaka lebih besar dari pandemi itu sendiri. Manusia seharusnya belajar dari sejarah, bahwa Pandemi Flu Spanyol bergelombang (1, 2 dan 3). Dan ingat, serangan gelombang kedua dan ketiga, sesuai catatan sejarah lebih parah dampaknya dibandingkan serangan pertama. Kita saat ini masih hidup dalam serangan gelombang pertama, dan kita sudah keburu membicarakan “new Normal” ?

Oleh: Friko Poli

Sumber : https://www.komentaren.net/ingin-new-normal-belajarlah-dari-sejarah-bukan-mengulang-sejarah/

 

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles