Selepas subuh, 27 Januari 2018, Kiai Umar Basri atau dikenal juga sebagai Ceng Emon Santiong, dipukuli perut dan wajahnya, mengakibatkan ulama sepuh pimpinan Ponpes Al Hidayah, Santiong, Cicalengka tersebut mesti dilarikan ke rumah sakit. Dari RS AMC Cileunyi, beliau dirujuk ke RS Al-Islam. Pelaku, yang kemudian diketahui bernama Asep, diyakini ikut berjamaah Salat Subuh. Peristiwa penganiayaan tersebut terjadi selepas jamaah salat meninggalkan masjid, dan lampu masjid dimatikan. Menurut salah seorang saksi mata, saat melakukan penganiayaan tersebut, pelaku berteriak, “Ini mah neraka, yang di sini (bakal masuk) neraka semua!”
Pelaku ditangkap di Musala Al-Mufathalah, Cicalengka, dua kilometer dari tempat kejadian. Pelaku mengakui perbuatannya, bahkan hasil visum menunjukkan adanya luka memar di tangan pelaku. Atas tindakannya tersebut, pelaku dikenakan Pasal 351 ayat 2 dengan ancaman penjara 5 tahun, dan saat ini sedang menjalani pemeriksaan kejiwaan di RS Sartika Asih. Peristiwa ini —dan beberapa peristiwa lain yang menyusul setelahnya— dalam satu dan lain hal menunjukkan empat masalah kronis umat Islam Indonesia hari ini.
Pertama, jika dan hanya jika kesaksian saksi mata ini benar, bahwa pelaku menganggap apa yang dilakukan Kiai Umar Basri sebagai amalan neraka, yang sebangun dengan bid’ah dlalalah, maka kita akan menemukan adanya penguatan sikap ‘rasa diri paling benar’, yang berujung pada sikap judgmental. Padahal, Islam sejak awal adalah agama yang memang ‘tidak didesain untuk satu suara’. Bahwa ikhtilaf (diversitas) pemahaman itu niscaya dan terlegitimasi, terbukti dengan disahkannya ‘Undang-Undang’ Ijtihad oleh Rasulullah sendiri. ‘Undang-Undang’ yang berbunyi: (1) benar berpahala dua, salah berpahala satu; (2) dan bahwa ikhtilaf dalam umat harus disituasikan sebagai rahmat, toleransi karenanya dimestikan; dan bahwa (3) tujuan utamanya adalah membangun maslahah al-ummah, kemaslahatan bersama.
Tetapi, kita tahu bahwa ada sebagian school of thought (mazhab) yang meyakini bahwa pendapatnyalah yang paling sunnah, yang paling Islami, sehingga kita jadi mudah mengkafir-kafirkan orang lain. Pada titik yang ekstrem, sikap ini diekspresikan dalam bentuk kekerasan: persekusi. Sejarah telah mencatat nama Ibnu Muljam sebagai seorang hafiz yang merasa diri benar dan menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai, katakanlah, ‘penista agama’, sehingga menantu dan sepupu Nabi itu dibunuh di Masjid selepas subuh. Atau, kelompok Khawarij yang secara sifat dapat dikategorikan sebagai embrio ekstremis muslim hari ini.
Sejarah juga mencatat bagaimana pertumpahan darah yang terjadi di dalam Masjid al-Haram pasca kepergian Nabi juga selalu dilakukan oleh orang yang mengaku sebagai muslim. Yang terbaru terjadi pada 1979. Beberapa kejadian melibatkan kehancuran Ka’bah seperti pada masa konfrontasi Yazid bin Muawiyah dan Ibn Zubair cucu Abu Bakar as-Shiddiq. Beberapa yang lain melibatkan pencurian Hajar Aswad. Di Indonesia, persekusi beberapa kali dilakukan oleh FPI terhadap kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiya. Apalagi, yang disebut belakangan difatwakan sebagai menyimpang oleh MUI.
Kedua, sikap ‘reaktif’. Bahwa penganiayaan ini membuat umat Islam marah, adalah tak terelakkan. Pertama, dia dilakukan di dalam Rumah Allah, kepada orang yang sedang mengingat Allah, oleh orang yang mengaku melakukannya karena Allah. Kedua, segala bentuk penganiayaan terhadap innocent adalah kejahatan kemanusiaan. Namun begitu, sikap yang over-reaktif membuat kejadian ini dapat dengan mudah diselipi hoax, yang kemudian dengan terlalu mudahnya di-share, merambatkan kepanikan, potensi chaos, dan kemarahan yang merambat. Seolah setiap dari kita punya kesumat dendam yang hanya perlu satu ‘percikan api’ untuk meledak.
Ketiga, situasi ini diperparah dengan kecenderungan sebagian dari kita ber-logical fallacies. Misalnya, bahkan ketika pelaku belum ditangkap, belum diketahui, Habib Novel dalam wawancaranya dengan Jawa Pos menyebut bahwa kejadian ini menunjukkan adanya bahaya laten komunisme. Kemudian beredar posting-an dan meme bahwa pelaku penganiayaan adalah PKI. Disambungkanlah sebuah narasi: “dulu PKI bertanggung jawab atas pembunuhan ulama dan santri. Jika ada yang melakukan hal seperti itu lagi, pasti dia PKI.” Ini penarikan kesimpulan yang fatal, yang jika tidak disikapi dengan bijak, bisa berujung gesekan berkepanjangan. Apalagi FPI, tempat Habib Novel bernaung, telah sejak lama meyakini bahwa PKI itu masih maujud di Bumi Indonesia, bahwa konspirasi palu arit ada di mana-mana termasuk di cetakan terbaru uang rupiah.
Apalagi, keempat, tuduhan tersebut juga berbau provokasi. Seolah siapapun korbannya, siapapun pelakunya, yang salah adalah PKI. Tidak perlu ada penyelidikan, tidak perlu ada praduga tak bersalah, tidak perlu pencidukan dan persidangan, semua sudah pasti dan jelas adalah salah PKI. Jika logical fallaciesmacam itu, yang berbau provokasi, disikapi secara over-reaktif, maka bukan tidak mungkin penganiayaan terhadap Kiai Umar Basri bisa menjadi percik api bagi titik ledak konflk horizontal di antara masyarakat sipil Indonesia. Terutama di antara umat Islam (garis keras) dengan mereka yang kerap dituduh sebagai antek PKI. Padahal, bisa saja pelakunya simplyadalah pengidap sakit jiwa. Kita belum tahu.
Oleh karena itu, saya menyambut baik kesigapan kepolisian dalam menangkap pelaku. Mari kita percayakan semuanya pada proses hukum yang berlaku. Saya bersyukur kondisi Kiai Umar Basri semakin membaik, teriring doa semoga keluarga diberi ketabahan dan kesabaran. Dan, semoga kejadian ini membuat kita lebih dewasa untuk tidak over-reaktif, untuk tidak tergesa-gesa mengambil keputusan dan memfitnah orang atau pihak lain. Karena tergesa-gesa itu, bukankah perbuatan setan?
Irfan L. Sarhindi pengasuh Salamul Falah, lulusan University College London, associate researcher Akar Rumput Strategic Consulting
Sumber: Detikcom