Ada suatu masa di mana Ki Hadjar Dewantara pernah sangat garang. Ia keluar-masuk penjara, dikejar-kejar aparat, juga dibuang ke negeri orang.
Dalam rangkaian kalimat dengan selipan bergaya satire tersebut, Soewardi dengan tajam menyindir kehendak pemerintah kolonial yang ingin merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis secara besar-besaran di Hindia alias Indonesia.
Yang menjadi persoalan, untuk membiayai gegap-gempitanya perayaan itu, aparat kolonial berniat menarik uang “sumbangan” kepada seluruh warga Hindia Belanda, termasuk orang-orang yang saat itu berstatus sebagai—meminjam istilah Tirto Adhi Soerjo—“bangsa yang terprentah”.
Bagaimana ceritanya kaum yang terbelenggu kedaulatannya disuruh menanggung pembiayaan pesta-pora bagi mereka yang menjajah? Inilah yang menjadi titik kritik Soewardi Soerjaningrat melalui tulisannya itu. Kelak, orang ini dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara.
Andai Ki Hadjar Orang Belanda
“Betapa menyenangkan, betapa nikmatnya bila dapat memperingati suatu peristiwa nasional yang begitu besar artinya. Saya ingin sekali menjadi orang Belanda, walaupun hanya untuk sementara saja…
Kita sekarang bersuka-cita oleh karena 100 tahun yang lalu kami terlepas dari jajahan kekuasaan asing, dan kesemuanya itu akan dilakukan di hadapan mata mereka yang hingga sekarang masih tetap dijajah oleh kami.”
Itulah sedikit nukilan dari “Als ik een Nederlander was” karya Soewardi Soerjaningrat yang sebenarnya sangat panjang.
Dimulai dengan gaya sindiran di permulaan, berlanjut dengan kata-kata yang lebih menikam, lalu dipungkasi dengan kecaman tajam:
“Sungguh, seandainya saya ini orang Belanda, maka saya tak akan pernah mau merayakan pesta peringatan seperti itu di sini, di suatu negeri yang kita jajah. Berikan dahulu rakyat yang tertindas itu kemerdekaan, baru sesudah itu kita memperingati kemerdekaan kita sendiri!”
Pro dan kontra segera terjadi setelah De Expres memuat tulisan Soewardi itu. Orang-orang pemerintahan dan pendukungnya tentu saja meradang. Tapi tidak bagi mereka yang menyimpan kegeraman yang sama seperti yang dirasakan Soewardi.
Meskipun lugas, Soewardi tidak membabi-buta dalam melakukan serangan. “Als ik een Nederlander was” membuktikan bahwa ia adalah seorang pemberani yang tangkas dalam menulis. Boleh jadi ia memang radikal kendati tidak melulu harus brutal.
Lewat tulisannya, Soewardi menampar, tapi bukan dengan sikap kasar. Ia tidak memaki, melainkan memberi kata-kata yang tepat, jitu, serta indah susunannya. Ada humor, ada sinis, ada ironi bercampur ejekan pedas yang jelas ditujukan kepada bangsa penjajah.
Tulisan Soewardi tidak hanya sekadar nyinyir atau berisi kecaman belaka tanpa solusi. Di dalam tulisannya terkandung pandangan dan upaya penyadaran yang bisa direnungkan, baik oleh pihak kolonial beserta kaum pendukungnya, juga oleh masyarakat Hindia yang masih terjajah.
Di tahun 1913 itu, Soewardi sudah membuka kesadaran tentang cita-cita kemerdekaan, sesuatu yang baru akan terwujud lebih dari tiga dekade kemudian.
“Pribumi” Bernyali Tinggi
Tidak banyak inlander alias “pribumi”—istilah saat itu untuk menyebut golongan yang dijajah Belanda (orang Indonesia)—yang seberani Soewardi pada masa-masa itu. Tidak banyak. Apalagi mereka yang berasal dari habitat yang sama dengannya, ningrat Jawa, orang-orang Boedi Oetomo (BO) misalnya.
Pilihan judul yang dipakai yakni “Als ik een Nederlander was” atau “Seandainya Saya Seorang Belanda” sendiri sudah menunjukkan radikalisme Soewardi. Hal seperti itu mustahil diungkapkan terang-terangan, bahkan tidak dimungkinkan meskipun baru dalam pikiran seorang inlander.
Menurut Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997), Soewardi dengan sadar telah menempatkan tata kolonial dalam upaya progresif dan revolusioner demi terjadinya perubahan yang radikal dan cepat. Bagi pemerintah kolonial, pemikiran seperti itu jelas sangat laten dan berbahaya jika dibiarkan (hlm. 86).
Pihak berwenang memang memandang masalah itu dengan serius. Bahkan, Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda) sampai menggelar rapat khusus untuk menentukan enaknya diapain si inlander yang lancang ini.
Tak hanya Soewardi saja yang disasar, tapi juga orang-orang yang terindikasi terlibat dalam aksi kurang ajar itu, terutama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker, dua karib Soewardi di Indische Partij.
Tanggal 18 Agustus 1913, seperti dicatat Ahmat Adam dalam Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan(2003), keluarlah surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk Tiga Serangkai itu. Mereka akan dihukum buang. Dan keputusan finalnya, mereka diasingkan ke Belanda (hlm. 280).
Soewardi Soerjaningrat akhirnya kembali ke Indonesia pada 6 September 1919 setelah menjalani masa pembuangan selama 6 tahun. Ketika tiba di tanah air dan langsung bergabung dengan Nationaal Indische Partij (NIP)—organisasi pengganti IP yang telah dibubarkan paksa—nyali Soewardi bukannya menciut, tapi justru makin terlecut.
Akibat tulisan-tulisannya yang tajam dan menikam, Soewardi sering berurusan dengan pihak berwajib. Tuduhan yang pernah didakwakan kepadanya antara lain penghinaan terhadap Ratu Belanda, melecehkan lembaga pengadilan, pegawai pemerintahan, dan menghasut orang agar membenci penguasa.
Usai jadi orang buangan, Soewardi mulai akrab dengan penjara. Antara 5 Juni hingga 24 Agustus 1920, misalnya, ia meringkuk di dalam tahanan untuk menunggu perkaranya disidangkan, sebelum akhirnya dibui di Pekalongan.
Belum lama bebas, Soewardi kena masalah lagi. Kali ini orasinya yang dituding menghina pemerintah. Awalnya ia dikurung di penjara Mlaten di Semarang, kemudian dipindahkan ke Pekalongan. Soewardi juga harus menjalani kerja paksa selama masa hukumannya.
Mengubah Jalan Perlawanan
Boleh jadi Soewardi akan konsisten radikal melawan jika saja tidak terjadi sesuatu kepada istrinya, Soetartinah. Sang istri jatuh sakit. Salah satu penyebabnya adalah ia selalu memikirkan keselamatan suaminya yang kerap dikejar-kejar aparat kolonial, bahkan keluar-masuk penjara.
Dari sinilah terjadi titik penting dalam kehidupan Soewardi. Ia mengurangi bahkan menghentikan aktivitas yang berpotensi mengancam keselamatannya dan fokus mendampingi sang istri sampai sembuh.
Setelah Soetartinah sehat, jalan perjuangan Soewardi benar-benar berubah. Di Yogyakarta, tempat di mana ia dilahirkan pada 2 Mei 1889 di lingkungan ningrat Pakualaman, ia menyusun cara perlawanan baru, yaitu lewat pendidikan.
Tepat tanggal 3 Juli 1922, berdirilah Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa, dan sejak saat itu, Soewardi Soerjaningrat memakai nama baru: Ki Hadjar Dewantara.
Kendati tidak lagi menyerang secara frontal, Soewardi alias Ki Hadjar tetap melalukan perlawanan. Taman Siswa murni independen, Ki Hadjar menolak mentah-mentah subsidi dari pemerintah kolonial. Ia juga kerap melawan kebijakan pendidikan kolonial yang dianggapnya merugikan rakyat Indonesia.
Usai Indonesia akhirnya merdeka pada 1945, Sukarno selaku presiden RI meminta Ki Hadjar Dewantara untuk menjadi Menteri Pengajaran (Pendidikan) meskipun jabatan ini tidak lama diampunya. Dan, pada 26 April 1959, tepat hari ini 60 tahun silam, si radikal yang lantas beralih haluan perlawanan itu wafat di Yogyakarta.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan